Biografi Imam Malik bin Anas

Posting Komentar

IMAM MALIK BIN ANAS

SANG IMAM DI NEGERI HIJRAH NABI

Oleh:Ustadz Abu Hafiz Abdllah


Sebagai imam di masanya, beliau benar-benar menjadi suri tauladan dalam berbagai aspek kehidupan. Memang semenjak kecil beliau telah terdidik di bawah naungan ilmu syar'i, dalam nuansa islami yang sangat kental. Anas rahimahullah, ayah imam Malik, adalah seorang ulama besar di kalangan tabiin. Oleh karenanya beliau tumbuh dan berkembang dalam pengawasan yang cukup ketat dari sang ayah.

Di samping itu beliau juga dianugerahi kecerdas dan hafalan yang sangat kuat. Maka menginjak usia dua puluh satu tahun, beliau telah diberi izin untuk berfatwa. Beliau terkenal sebagai Imam Darul Hijrah karena beliau senantiasa menetap di kota Madinah, baik ketika menuntut ilmu maupun berdakwah.

Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadits ternama di kota Madinah. Oleh karenanya, sejak kecil tiada keinginan sama sekali pada diri Imam Malik untuk meninggalkan Madinah meskipun dalam rangka mencari ilmu. Dengan keberadaanulama besar di Madinah, beliau yakin kota tersebut adalah pusat ilmu yang berlimpah.

Sejak kecil Imam Malik telah mengenal ilmu hadits dari sang ayah. Juga dari sebagian saudaranya yang pernah berguru pada para ulama terkenal di masanya, seperti Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, dan yang lainnya. Beliau sendiri juga berguru kepada ulama ahli hadits di antaranya Nafi', Said Al Maqburi, lbnu Al Mukandir, Abdullah bin Dinar, dan sederet ulama ulama besar lainnya.

Bukti tingginya kedudukan beliau adalah banyaknya ulama besar yang berguru kepada beliau. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ibrahim bin Uqbah, Ismail bin Abi Hakim, dan tentu saja Al Imam Asy Syafi'i rahimahumullah.

Kecintaan Imam Malik terhadap ilmu syari menjadikan beliau mengabdikan hampir seluruh hidupnya dalam dunia dakwah. Beliau sangat bersemangat dalam mengajarkan ilmu agama kepada kaum muslimin. Bahkan, Khalifah Al Manshur, Al Mahdi Harun Ar Rasyid, dan Al Makmun pernah berguru kepada beliau, sungguh fantastis, para penguasa pun tunduk dan bersimpuh menimba ilmu di hadapan Imam Malik.  Demikianlah Allah mengangkat derajat hamba hamba-Nya dengan ilmu syari.

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat Dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian keriakan" [QS.  Al-Mujadilah:11]

Imam Malik adalah salah satu bukti nyata ayat ini. Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di atas hamba yang lain.

"Jika disebut para ulama, maka Malik bintangnya." - Imam Asy Syafi'i

Beliau sebagai imam di kota Madinah begitu banyak orang mencari beliau dari berbagai penjuru negeri. Mulai dari rakyat jelata yang datang untuk sekedar meminta fatwa, atau bertanya tentang masalah agama, hingga para penguasa bahkan para ulama untuk meriwayatkan hadits dari beliau. 

Kekuasaan atau kekayaan duniawi bukanlah simbol kemuliaan sebagaimana penilaian kebanyakan orang. Kalaulah kemuliaan hidup ini dipandang dari kenikmatan duniawi, maka tentunya banyak orang-orang kafir yang lebih mulia daripada orang-orang yang beriman. Hal ini mengingatkan kita tentang sebuah kisah yang diriwayatkan dari Abu Thufail, bahwa Nafi'  bin Abdil Harits datang dari Makkah untuk menjemput Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab di'Usfan.

Nafi bin Abdil Harits adalah gubernur yang diangkat oleh Umar sebagai pemimpin penduduk Makkah.  Umar pun bertanya, "Siapa yang engkau sebagai wakilmu di Makkah?"  Ia pun menjawab, "Ibnu Abza." Umar kembali bertanya, "Siapa itu Ibnu Abza?"Dia adalah seorang bekas budak," Jawabnya. Umar berkata, "Engkau mengangkat pemimpin dari mantan budak?!" Maka ia pun mengatakan, "Karena dia adalah seorang yang ahlimembaca Al Qur'an dan pakar dalam ilmu waris.". Umar berkata, "Ketahuilah sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, "Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Al Quran ini sekelompok kaum dan merendahkan yang lainnya".

Meskipun telah mencapai derajat mufti (ahli fatwa) dan mujtahid (ahli ijtihad), Imam Malik adalah pribadi yang sangat berhati-hati dalam berfatwa. Gelar lmam Darul Hijrah, tidaklah membuat Imam Malik bermudah-mudahan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau atau merasa malu ketika tidak bisa menjawabnya. Sungguh hal ini mencerminkan tawadhunya beliau sebagai ulama besar.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan sebagian zaman ini. Mereka sering memaksakan diri dalam menjawab pertanyaan. Seolah-olah dia mengetahui segala sesuatu,tidak kenal dengan kata "tidak tahu".  Padahal Alahu A'lam,  Allah yang maha mengetahui, merupakan setengah ilmu.

Perhatikanlah kisah berikut ini. Khalid bin Khidasy berkisah. "Aku pernah datang kepada Malik dengan membawa permasalahan.  Namun,  tidaklah beliau menjawabnya kecuali 5 permasalahan saja.".

Abdurrahman bin Mahdi berkata "Ketika kami berada di sisi Al Imam Malik bin Anas,  datanglah seseorang kepada beliau.  Ia berkata, 'Aku datang kepada Anda dari jarak 6 bulan perjalanan. Penduduk negeriku menugaskanku agar menanyakan kepada Anda suatu permasalahan. Al Imam Malik berkata,  'Tanyakanlah!'  Orang tersebut menyampaikan kepada beliau suatu permasalahan. Al-Imam Malik menjawab, 'Saya tidak bisa menjawabnya' Orang tersebut terperanjat. Sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu. Kemudian orang tersebut berkata, "Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku, jika aku pulang kepada mereka? Imam Malik berkata, Katakan kepada mereka "Malik tidak mengetahui jawabannya".

Sungguh, sikap tawadhu beliau tersebut sama sekali tidak menurunkan pamor dan reputasi beliau sebagai ulama besar. Bahkan beliau semakin dihormati semakin tinggi kedudukan beliau.  Para ulama tidak henti-hentinya memberikan pujian kepada beliau. Imam Asy-Syafi'i pernah mengatakan "Jika disebut para ulama,  maka Malik bintangnya." Yahya bin Qathan mengatakan, "Tidak ada seorang pun yang keshahihan haditsnya melebihi Malik. Beliau adalah imam dalam ilmu hadits." Bahkan, seorang ulama sekaliber Sufyan bin Uyainah pun pernah mengatakan, Siapakah kami dibandingkan Malik? Kami hanya bisa mengikuti jejak Malik.".

Mushab bin Abdullah mengatakan dalam lantunan bait-bait syairnya, 

"Jika beliau tidak menjawab pertanyaan,maka pertanyaan pun tidak lagi diajukan.Yang demikian itu karena orang segandisebabkan kewibawaan beliau serta cahaya ketakwaan.

Imam Malik juga dikenal sebagai figur pembela Al Quran dan Sunnah di atas pemahaman yang benar. Hal ini tercermin dalam ucapan atau amal perbuatan beliau. Di antara kisah yang sering dinukilkan oleh para ulama dalam kitab-kitab akidah mereka, yaitu yang diriwayatkan dari Ja'far bin Abdillah,
"Suatu saat kami pernah bermajelis di hadapan Malik.  Tiba-tiba datang seorang laki seraya mengatakan,  Wahai Abu Abdillah (Imam Malik)  kita tahu bahwa Allah ber-istiwa,  berada di atas Arsy-Nya.  Lalu bagaimanakah istiwa itu?" 

Maka Malik sangat marah. Belum pernah kulihat sebelumnya kemarahan seperti itu. Beliau pun melihat ke arah bawah dan memukul lantai dengan batang kayu yang berada di tangannya.  Keringat beliau bercucuran. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan membuang batang kayu tersebut seraya berkata, 

"Kaifiyah (tata cara) beristiwa itu tidak diketahui. Namun istiwa bukanlah perkara yang majhul diketahui. Mengimani istiwa adalah wajib hukumnya. Dan bertanya tentang kaifiyahnya adalah bid'ah. Aku yakin bahwa engkau adalah ahli bid'ah.".

Lantas beliau memerintahkan supaya orang tersebut dikeluarkan dari majelis orang tersebut akhirnya diusir. Inilah akidah Ahlu Sunnah. Yaitu mengimani seluruh sifat Allah tanpa menanyakan kaifiyahnya. Karena kaifiyah sifat-sifat tersebut tidak disebutkan dalam Al Quran ataupun As Sunnah.

Tentang keimanan bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya, cukup banyak ayat Al-Qur'an dan hadits shahih yang menjelaskan tentang sifat ini Bahkan, para ulama salaf sejak shahabat telah bersepakat bahwa Allah berada di atas langit dan tinggi di atas Arsy-Nya.

Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menegaskan bahwa inilah pendapat para ulama. Dalam tafsir surat Al Araf ayat 54 beliau mengatakan, 

"Pendapat yang kami yakini terkait dengan sifat Allah adalah sebagaimana pendapat para ulama salafush shalih semisal Imam Malik, Al-Auzai, Ats Tsauri, Al Laits bin Sa'ad, Imam Asy Syafi'i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rawaih, dan para ulama lainnya. dari dulu hingga sekarang. Yaitu meyakini dalil-dalil tentang sifat Allah seperti apa adanya. Tanpa melakukan takyif (menanyakan kaifiyahnya), tasybih (menyerupakan dengan makhluk ciptaan-Nya), takwil (menyelewengkan maknanya), tidak pula melakukan ta'thil (menolak sifat tersebut)."

Demikianlah akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Inilah akidah yang benar dalam memahami seluruh sifat sifat Allah.

Imam Malik sangat gigih mendakwahkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Berbagai pendapat beliau tentang akidah yang lurus ini dinukilkan generasi demi generasi. Semacam penjelasan beliau bahwa iman adalah keyakinan dalam qalbu, ucapan dengan lisan dan amalan anggota badan. Iman bisa bertambah dan berkurang.

Juga perkataan beliau dalam kesempatan lain bahwa Al Quran adalah Kalamullah (firman Allah) bukan makhluk. Pengabdian Imam Malik dalam dunia dakwah tidak hanya terbatas ceramah-ceramah semata. Namun, beliau juga memiliki sejumlah karya tulis. Yang paling fenomenal adalah kitab hadits beliau yang berjudul Al-Muwaththa' . Sebuah kitab hadits yang tersusun berdasarkan urutan bab bab fiqih.

Para ulama sangat mengagumi karya beliau yang satu ini. Hingga Imam Syafi'i mengatakan "Tidaklah muncul di atas muka bumi ini setelah Kitabullah yang lebih shahih dari kitabnya Malik." (ketika itu, -red)Oleh karenanya,  sebagian ulama memasukkan kitab Muwaththa sebagai salah satu dari Kutubus Sittah yaitu Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan Tirmidzi, dan Muwaththa' sebagai pengganti dari Sunan Ibnu Majah. Karena kitab Muwaththa' memuat hadits shahih yang lebih banyak.

Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Hasan Ahmad bin Razin As Sargasti dalam kitabnya At Tajrid fl Jam'i baina Shihah. Demikian pula Abus Sa'adat yang populer dengan nama Ibnul Atsir,  Az-Zubaidi,  dan yang lainnya. Namun demikian,  ada juga ulama yang tidak sependapat dengan hal ini Terlepas dari silang pendapat di antara ulama, dan melihat berbagai pujian mereka terhadap kitab Muwaththa, cukup menunjukkan bahwa kitab ini disambut sangat baik oleh para ulama. Yang demikian ini karena lmam Malik hanya meriwayatkan hadits dari orang yang adil dan terpercaya dalam sikap, akidah, dan kecerdasannya. Imam Malik dikenal sebagai ulama yang sangat hati hati dan selektif dalam meriwayatkan hadits.

Imam Malik, Imam Darul Hijrah yang jasa-jasanya akan senantiasa diingat oleh kaum muslimin.

Disalin dari Majalah Qudwah Edisi 5 Vol 01 2013
Oleh: Happy Islam

Related Posts

Posting Komentar